Jakarta, PODIUM - Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menganggap Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA) versi Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang memberikan kewenangan bagi DPR atas putusan MA, sebagai sesuatu yang salah kaprah.
Karena kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dari campur tangan lembaga manapun dan pihak manapun.
"Oleh karena itu, konsep pengawasan MA oleh DPR, jelas dapat mengganggu indepedensi peradilan," kata Nur Syarifah, peneliti LeIP, dalam diskusi di kantornya di Jakarta, Selasa, 24 April 2012.
Menurut Syarifah, konsep pengawasan dalam Pasal 94 RUU MA merupakan konsep yang salah kaprah. Karena dengan demikian, partai politik dapat melakukan intervensi kepada dunia peradilan.
Padahal, lanjut Syarifah, Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara tegas menyatakan melarang segala bentuk campur tangan dalam dunia peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman.
"Ini adalah masalah yang sensitif. Karena pengawasan terhadap lembaga peradilan, itu berarti intervensi atas pelaksanaan kekuasaan kehakiman itu sendiri," tegas Syarifah.
Syarifah memandang soal ini, adalah masalah ketegangan antara konsep akuntabiltas dengan konsep indepensi.
Berdasar konsep akuntabilitas, DPR ingin memastikan bahwa putusan peradilan tidak melanggar UU, tetapi sebaliknya, konsep indepensi menolak segala bentuk intervensi, jelas Syarifah.
Tunggul Naibaho